Bronkiektasis
adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya dilatasi (ektasis) bronkus
lokal yang bersifat patologis dan berjalan kronik. Kelainan bronkus tersebut disebabkan
oleh perubahan-perubahan dalam dinding bronkus berupa destruksi elemen-elemen
elastis dan otot-otot polos bronkus. Bronkus yang terkena umumnya adalah
bronkus kecil (medium size), sedangkan bronkus besar jarang terkena.
Etiologi :
Bronkiektisis di sebabkan oleh :
- Infeksi
pernafasan
- Campak
- Pertusis
- Infeksi adenovirus
- Infeksi bakteri contohnya Klebsiella, Staphylococcus atau Pseudomonas br>- Influenza
- Tuberkulosa
- Infeksi jamur
- Infeksi mikoplasma - Penyumbatan
bronkus
- Benda asing yang terisap
- Pembesaran kelenjar getah bening
- Tumor paru
- Sumbatan oleh lendir - Cedera
penghirupan
- Cedera karena asap, gas atau partikel beracun
- Menghirup getah lambung dan partikel makanan - Keadaan genetik
- Fibrosis kistik
- Diskinesia silia, termasuk sindroma Kartagener
- Kekurangan alfa-1-antitripsin - Kelainan imunologik
- Sindroma kekurangan imunoglobulin
- Disfungsi sel darah putih
- Kekurangan koplemen
- Kelainan autoimun atau hiperimun tertentu seperti rematoid artritis, kolitis ulserativa - Keadaan lain
- Penyalahgunaan obat (misalnya heroin)
- Infeksi HIV
- Sindroma Young (azoospermia obstruktif)
- Sindroma Marfan.
PHATWAY :
GEJALA
Gejalanya bisa berupa:
- batuk menahun dengan banyak dahak yang berbau busuk
- batuk darah
- batuk semakin memburuk jika penderita berbaring miring
- sesak nafas yang semakin memburuk jika penderita melakukan aktivitas
- penurunan berat badan
- lelah
- clubbing fingers (jari-jari tangan menyerupai tabuh genderang)
- wheezing (bunyi nafas mengi/bengek)
- warna kulit kebiruan
- pucat
- bau mulut.
DIAGNOSA
Pada pemeriksaan fisik dengan menggunakan stetoskop, biasanya di paru-paru bagian bawah akan terdengar suara ronki.
Pemeriksaan yang biasa dilakukan:
Gejalanya bisa berupa:
- batuk menahun dengan banyak dahak yang berbau busuk
- batuk darah
- batuk semakin memburuk jika penderita berbaring miring
- sesak nafas yang semakin memburuk jika penderita melakukan aktivitas
- penurunan berat badan
- lelah
- clubbing fingers (jari-jari tangan menyerupai tabuh genderang)
- wheezing (bunyi nafas mengi/bengek)
- warna kulit kebiruan
- pucat
- bau mulut.
DIAGNOSA
Pada pemeriksaan fisik dengan menggunakan stetoskop, biasanya di paru-paru bagian bawah akan terdengar suara ronki.
Pemeriksaan yang biasa dilakukan:
· Rontgen dada
· CT scan dada
· Biakan dahak
· Hitung jenis darah
· Pemeriksaan keringat atau pemeriksaan fibrosis
kistik lainnya
· Analisa serum immunoglobulin
· Serum presipitin (pemeriksaan untuk antibodi jamur,
aspergillus)
· Tes
PPD untuk infeksi TBC.
PENGOBATAN :
PENGOBATAN :
Tujuan dari pengobatan adalah mengendalikan infeksi dan pembentukan dahak,membebaskan penyumbatan saluran pernafasan serta mencegah komplikasi.
Drainase postural yang dilakukan secara teratur setiap hari, merupakan bagian dari pengobatan untuk membuang dahak.
Seorang terapis pernafasan bisa mengajarkan cara melakukan drainase postural dan batuk yang efektif.
Untuk mengatasi infeksi seringkali diberikan antibiotik,bronkodilator Dan ekspektoran.
Pengangkatan paru melalui pembedahan dilakukan pada penderita yang tidak memberikan respon terhadap pemberian obat atau pada penderita yang mengalami perdarahan hebat.
PENCEGAHAN :
Imunisasi campak dan pertusis pada masa kanak-kanak membantu menurunkan angka kejadian bronkiektasis.
Vaksin influenza berkala membantu mencegah kerusakan bronkus oleh virus flu.
Vaksin pneumokok membantu mencegah komplikasi berat dari pneumonnia pneumokok.
Minum antibiotik dini saat infeksi juga mencegah bronkiektasis atau memburuknya penyakit.
Pengobatan dengan imunoglobulin pada sindroma kekurangan imunoglobulin mencegah infeksi berulang yang telah mengalami komplikasi.
Penggunaan anti peradangan yang tepat (seperti kortikosteroid), terutama pada penderita bronkopneumonia alergika aspergilosis, bisa mencegah kerusakan bronkus yang akan menyebabkan terjadinya bronkiektasis.
Menghindari udara beracun, asap (termasuk asap rokok) dan serbuk yang berbahaya (seperti bedak atau silika) juga mencegah bronkiektasis atau mengurangi beratnya penyakit.
Masuknya benda asing ke saluran pernafasan dapat dicegah dengan:
- memperhatikan apa yang dimasukkan anak ke dalam mulutnya
- menghindari kelebihan dosis obat dan alkohol
- mencari pengobatan medis untuk gejala neurologis (seperti penurunan kesadaran) atau gejala saluran pencernaan (seperti regurgitasi atau batuk setelah makan).
Tetes minyak atau tetes mineral untuk mulut atau hidung jangan digunakan menjelang tidur karena dapat masuk ke dalam paru.
Bronkoskopi dapat digunakn untuk menemukan dan mengobati penyumbatan bronkus sebelum timbulnya kerusakan yang berat.
Predisposisi :
Bronkiektasis
biasanya didapat pada masa anak-anak. Kerusakan bronkus pada penyakit ini
hampir selalu disebabkan oleh infeksi. Penyebab infeksi tersering adalah H.
Influenza dan P. Aeruginosa. Infeksi oleh bakteri lain, seperti Klebsiela
dan Staphylococus Aureus disebabkan oleh absen atau terlambatnya
pemberian antibiotik pada pengobatan pneumonia. Bronkiektasis ditemukan pula
pada pasien dengan infeksi HIV atau virus lainnya, seperti adenovirus atau
virus influenza.
Faktor penyebab
noninfeksi yang dapat menyebabkan penyakit ini adalah paparan substansi toksik,
misalnya terhirup gas toksik (amonia, aspirasi asam dari cairan lambung dan
lain-lain). Kemungkinan adanya faktor imun yang terlibat belum diketahui dengan
pasti karena bronkektasis dapat ditemukan pula pada pasien kolitis
ulseratif, reumathoid artritis, dan sindrom Sjorgen.
Faktor
predisposisi terjadinya bronkiektasis dapat dibagi menjadi tiga, yaitu :
1. Kekurangan
mekanisme pertahanan yang didapat atau kongenital, biasanya kelainan imunologi
berupa kekurangan globulin gamma atau kelainan imunitas selular atau kekurangan
alfa-1antitripsin.
2. Kelainan struktur
kongenital seperti fibrosis kistik, sindrom Kartagener, kekurangan kartilago
bronkus, dan kifoskoliosis kongenital.
3. Penyakit paru primer
seperti tumor paru, benda asing, atau tuberkulosis paru.
Manifestasi Klinis :
Gejala sering dimulai pada saat anak-anak, 60% gejala timbul
sejak pasien berusia 10 tahun. Gejala yang timbul tergantung dari luas, berat,
lokasi, serta ada atau tidaknya komplikasi. Gejala tersering adalah batuk
kronik dengan sputum yang banyak. Batuk dan pengeluaran sputum dialami paling
sering pada pagi hari, setelah tiduran atau berbaring pada posisi yang
berlawanan dengan sisi yang mengandung kelainan bronkektasis.
Pada bronkektasis ringan atau yang hanya mengenai satu lobus
saja, mungkin tidak terdapat gejala. Kalaupun ada biasanya batuk bersputum yang
menyertai batuk-pilek selama 1-2 minggu. Komplikasi pneumonia jarang dan
progresivitasnya lambat.
Pada bronkiektasis berat, pasien mengalami batuk
terus-menerus dengan sputum yang banyak (200-300 ml) yang bertambah berat bila
terjadi infeksi saluran napas atas. Biasanya dapat diikuti dengan demam, nafsu
makan berkurang, berat badan turun, anemia, nyeri pleura, malaise. Sesak napas
dan sianosis timbul pada kelainan yang luas. Hemoptisis mungkin merupakan
satu-satunya gejala, sebab itu bronkiektasis harus dipikirkan bila terdapat
hemoptisis yang tidak jelas sebabnya.
Pada pemeriksaan fisik yang terpenting adalah terdapat
rongki basah sedang sampai kasar pada daerah yang terkena dan menetap pada
pemeriksaan yang berulang. Kadang-kadang dapat ditemukan rongki kering dan
bising mengi. Ditemukan perkusi yang redup dan suara napas yang melemah bila
terdapat komplikasi empiema. Clubbing Finger didapatkan pada
30-50% kasus. Pada kasus yang berat mungkin terdapat sianosis dan tanda kor
pulmonal.
Pemeriksaan Penunjang :
1. Pemeriksaan
Laboratorium
Sputum biasanya berlapis tiga. Lapisan atas terdiri dari
busa, lapisan tengah adalah sereus dan lapisan bawah terdiri dari pus atau
sel-sel rusak. Sputum yang berbau busuk menunjukkan infeksi oleh kuman anaerob.
Pemeriksaan darah tepi menunjukkan hasil dalam batas normal, demikian pula
dengan pemeriksaan urin dan EKG, kecuali pada kasus lanjut.
2. Pemeriksaan Radiologi
Foto thoraks normal tidak menyingkirkan kemungkinan penyakit
ini. Biasanya didapatkan corakkan paru menjadi lebih kasar dan batas-batas
corakkan menjadi kabur, daerah yang terkena corakkan tampak mengelompok,
kadang-kadang ada gambaran sarang tawon serta kistik yang berdiameter sampai 2
cm dan kadang-kadang terdapat garis-garis batas permukaan udara-cairan.
Penatalaksanaan :
Terapi yang dilakukan
bertujuan untuk :
1. Meningkatkan
pengeluaran sekret trakeobronkial. Drainase postural dan latihan fisioterapi
untuk pernapasan dan batuk yang produktif, agar sekret dapat dikeluarkan secara
maksimal.
2. Mengontrol
infeksi, terutama pada fase eksaserbasi akut. Pilihan antibiotik berdasarkan
pemeriksaan bakteri dari sputum dan resistensinya. Sementara menunggu hasil
biakan kuman, dapat diberikan antibiotik spektrum luas seperti ampisilin,
kotrimoksazol, dan amoksisilin. Antibiotik diberikan
sampai produksi sputum minimal dan tidak purulen. Pengobatan diperlukan untuk
waktu yang lama bila infeksi paru yang diderita telah lanjut.
3. Mengembalikan aliran
udara pada saluran napas yang mengalami obstruksi,. Bronkodilator diberikan
selain untuk mengatasi bronkospasme, juga untuk meperbaiki drainase sekret.
Alat pelembab dan nebulizer dapat dipakai untuk melembabkan
sekret. Bronkoskopi kadang-kadang perlu untuk pengangkatan benda asing atau
sumbatan mukus. Pasien dianjurkan untuk menghindari rangsangan bronkus dari
asap rokok dan polusi udara yang tercemar berat dan mencegah pemakaian obat
sedatif dan obat yang menekan refleks batuk.
4. Operasi hanya
dilakukan bila pasien tidak menunjukkan perbaikan klinis setelah mendapat
pengobatan konservatif yang adekuat selama 1 tahun atau timbul hemoptisis yang
masif. Pertimbangan operasi berdasarkan fungsi pernapasan, umur, keadaan,
mental, luasnya bronkiektasis, keadaan bronkus pasien lainnya, kemampuan ahli
bedah dan hasil terhadap pengobatan.
Patologi :
Terdapat berbagai variasi bronkiektasis, baik mengenai
jumlah atau luasnya bronkus yang terkena maupun beratnya penyakit.
a. Tempat predisposisi bronkiektasis
Dapat mengenai bronkus pada satu segmen paru, bahkan dapat
secara difus mengenai kedua paru. Bagian paru yang sering terkena dan merupakan
tempat predisposisi bronkiektasis adalah lobus tengah paru kanan, bagian
lingual paru kiri lobus atas, segmen basal pada lobus bawah kedua paru.
b. Bronkus yang terkena
Umumnya adalah bronkus ukuran sedang, sedangkan bronkus yang
besar jarang terkena. Bronkus yang terkena dapat hanya pada satu segmen paru
saja maupun difus.
c. Perubahan morfologi bronkus yang terkena
● Dinding bronkus
Dapat mengalami perubahan berupa proses inflamasi yang
sifatnya destruktif dan ireversibel. Pada pemeriksaan patologi anatomi sering
ditemukan berbagai tingkatan keaktifan proses inflamasi serta terdapat proses
fibrosis. Jaringan bronkus yang mengalami kerusakan selain otot-otot polos
bronkus juga elemen-elemen elastis.
● Mukosa bronkus
Permukaannya menjadi abnormal, silia pada sel epitel
menghilang, terjadi perubahan metaplasia skuamosa dan terjadi sebukan hebat
sel-sel inflamasi. Apabila terjadi eksaserbasi infeksi akut, pada mukosa akan
terjadi pengelupasan, ulserasi dan pernanahan.
● Jaringan paru peribronkial
Dapat ditemukan kelainan antara lain berupa pneumonia,
fibrosis paru atau pleuritis apabila prosesnya dekat pleura. Pada keadaan yang
berat, jaringan paru distal bronkiektasis akan diganti oleh jaringan fibrotik
dengan kista-kista berisi nanah.
d. Variasi kelainan anatomis bronkiektasis
Telah dikenal ada 3 variasi bentuk kelainan anatomis
bronkiektasis, yaitu:
● Bentuk tabung (tubular, cilindrical, fusiform
bronchiectasis).
Merupakan
bronkiektasis yang paling ingan. Bentuk ini sering ditemukan pada bronkiektasis
yang menyertai bronkitis kronis.
● Bentuk kantong
(saccular bronchiectasis).
Merupakan bentuk
bronkiektasis yang klasik, ditandai dengan adanya dilatasi dan penyempitan
bronkus yang bersifat ireguler, Bentuk ini kadang-kadang berbentuk kista
(cystic bronkiektasis).
● Varicose
bronchiectasis
Merupakan bentuk
antara bentuk tabung dan kantong. Istilah ini digunakan karena perubahan bentuk
bronkus menyerupai varises pembuluh vena.
Adanya variasi
bentuk-bentuk anatomis bronkus tadi secara klinis tidak begitu penting, karena
kelainan-kelainan yang berbeda tadi dapat berasal dari etiologi yang sama dan
tidak mempengaruhi gejala klinis dan manajemen pengobatannya sama saja. Bahkan beberapa bentuk kelainan tadi bisa
terdapat pada satu pasien.
e.
Pseudobronkiektasis
Bentuk ini tidak
termasuk bronkiektasis yang sebenarnya. Pada bentuk ini terdapat pelebaran bronkus yang
bersifat sementara dan bentuknya silindris. Kelainan ini bersifat sementara
karena dalam beberapa bulan akan menghilang. Bentuk ini biasanya
merupakan komplikasi pneumonia.
Patogenesis :
Tergantung penyebabnya. Apabila bronkiektasis timbul
kongenital, patogenesisnya tidak diketahui, diduga erat hubungannya dengan
genetik serta faktor pertumbuhan dan perkembangan fetus dalam kandungan. Pada
bronkiektasis yang didapat, patogenesisnya diduga melalui beberapa mekanisme.
Ada beberapa faktor yang diduga ikut berperan, antara lain: (1) obstruksi
bronkus, (2) infeksi pada bronkus atau paru, (3) adanya beberapa penyakit
tertentu seperti fibrosis paru, asthmatic pulmonary eosinophilia dan (4) faktor
intrinsik dalam bronkus atau paru.
Patogenesis pada kebanyakan bronkiektasis yang didapat,
diduga melalui dua mekanisme dasar.
1. Permulaannya didahului adanya infeksi bakterial.
Mula-mula karena adanya infeksi pada bronkus atau paru, kemudian timbul bronkiektasis.
Mekanisme kejadiannya sangat rumit. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa
infeksi pada bronkus atau paru, akan diikuti proses destruksi dinding bronkus
daerah infeksi dan kemudian timbul bronkiektasis.
a. Permulaannya didahului adanya obstruksi bronkus. Adanya
obstruksi bronkus oleh beberapa penyebab (misalnya tuberkulosis kelenjar limfe
pada anak, karsinoma bronkus, korpus alineum dalam bronkus) akan diikuti
terbentuknya bronkiektasis. Pada bagian distal obstruksi biasanya akan terjadi
infeksi dan destruksi bronkus, kemudian terjadi bronkiektasis.
Pada bronkiektasis didapat, pada keadaan yang amat jarang,
dapat terjadi atau timbul sesudah masuknya bahan kimia korosif (biasanya bahan
hidrokarbon) ke dalam saluran nafas dan karena terjadinya aspirasi berulang
bahan/cairan lambung ke dalam paru.
Seperti diketahui, bronkiektasis merupakan penyakit paru
yang mengenai bronkus dan sifatnya kronik. Keluhan-keluhan yang timbul
berlangsung kronik dan menetap. Keluhan-keluhan yang timbul berhubungan erat
dengan: (1) luas atau banyaknya bronkus yang terkena, (2) tingkatan beratnya
penyakit, (3) lokasi bronkus yang terkena dan (4) ada atau tidak adanya
komplikasi lanjut.Pada bronkiektasis, keluhan-keluhan timbul umumnya sebagai
akibat adanya beberapa hal berikut: (1) adanya kerusakan dinding bronkus, (2)
adanya kerusakan fungsi bronkus dan (3) adanya akibat lanjut bronkiektasis atau
komplikasi dan sebagainya. Kerusakan
dinding bronkus dapat berupa dilatasi dinding bronkus, kerusakan elemen elastis
dan otot-otot polos bronkus, kerusakan mukosa dan silia. Kerusakan tersebut
akan menimbulkan stasis sputum, gangguan ekspektorasi, gangguan reflek batuk
dan sesak nafas.
Mengenai infeksi
dan hubungannya dengan patogenesis bronkiektasis, dapat dijelaskan sebagai
berikut:
a. Infeksi
pertama (primer)
Kecuali pada
bentuk bronkiektasis kongenital, tiap bronkiektasis kejadiannya didahului
infeksi bronkus (bronchitis) maupun jaringan paru (pneumonia). Masih menjadi
pertanyaan, apakah infeksi yang mendahului terjadinya bronkiektasis tersebut
disebabkan oleh bakteri atau virus. Menurut hasil penelitian para ahli
terdahulu ditemukan bahwa infeksi yang mendahului bronkiektasis adalah infeksi
bakterial, yaitu mikroorganisme penyebab pneumonia atau bronkitis yang
mendahuluinya. Dikatakan bahwa hanya infeksi bakteri saja yang dapat
menyebabkan kerusakan pada dinding bronkus sehingga terjadi bronkiektasis,
sedangkan infeksi virus tidak dapat. Boleh jadi bahwa pneumonia atau bronkitis
yang mendahului bronkiektasis tadi didahului oleh infeksi virus (misalnya
adenovirus tipe 21, virus influenza, campak dan sebagainya).
b. Infeksi sekunder
Tiap pasien bronkiektasis tidak selalu disertai infeksi
sekunder pada lesi (daerah bronkiektasis). Secara praktis apabila sputum pasien
bronkiektasis bersifat mukoid dan putih jernih, menandakan tidak atau belum ada
infeksi sekunder. Sebaliknya apabila sputum pasien yang semula berwarna putih
jernih kemudian berubah warnanya menjadi kuning atau kehijauan atau berbau
busuk berarti telah terjadi infeksi sekunder. Untuk menentukan jenis kumannya
bisa dilakukan pemeriksaan mikrobiologis. Sputum berbau busuk menandakan adanya
infeksi sekunder oleh kuman anaerob. Contoh kuman anaerob ini: Fusiformis
fusiformis, treponema vincenti, anaerobic streptococci, dan sebagainya.
Kuman-kuman aerob yang sering ditemukan dan menginfeksi bronkiektasis misalnya:
Streptokokus pneumonia, hemopilis influenza, klebsiela ozeona, dan sebagainya.
Sesudah seseorang menderita bronkiektasis, perjalanan klinis
penyakit selanjutnya tergantung pada luasnya penyakit, efektivitas drainase
sputum dan efektivitas pengobatan infeksi. Kalau penyakitnya luas atau
pengobatannya tidak memuaskan, dapat timbul beberapa komplikasi lanjut yang
tidak menyenangkan. Apabila penyakit ini berlanjut terus, keadaan umum pasien
dapat menjadi sangat menurun. Sebagai akibat daya tahan tubuh yang menurun
mudah timbul infeksi berulang, nafsu makan berkurang menimbulkan malnutrisi dan
sebagainya. Dalam keadaan yang sangat jarang, pada pasien dapat timbul
perubahan degeneratif yaitu terjadi amiloidosis.
Asuhan Keperawatan Bronkiektasis
Pengkajian :
- Riwayat atau adeanya faktor-faktor
penunjang
- Merokok produk tembakau
sebagai factor penyebab utama
- Tinggal atau bekerja daerah dengan
polusi udara berat
- Riwayat
alergi pada keluarga
- Ada riwayat asam pada masa
anak-anak.
- Riwayat
atau adanya faktor-faktor pencetus eksaserbasi seperti :
- Allergen (serbuk, debu, kulit,
serbuk sari atau jamur)
- Sress
emosional
- Aktivitas
fisik yang berlebihan
- Polusi
udara
- Infeksi
saluran nafas
- Kegagalan
program pengobatan yang dianjurkan
- Pemeriksaan
fisik berdasarkan focus pada system pernafasan yang meliputi :
- Kaji
frekuensi dan irama pernafasan
- Inpeksi
warna kulit dan warna menbran mukosa
- Auskultasi
bunyi nafas
- Pastikan
bila pasien menggunakan otot-otot aksesori bila bernafas :
- Mengangkat
bahu pada saat bernafas
- Retraksi otot-otot abdomen pada
saat bernafas
- Pernafasan
cuping hidung
- Kaji
bila ekspansi dada simetris atau asimetris
- Kaji
bila nyeri dada pada pernafasan
- Kaji
batuk (apakah produktif atau nonproduktif). Bila produktif tentukan warna
sputum.
- Tentukan bila pasien mengalami
dispneu atau orthopneu
- Kaji
tingkat kesadaran.
- Pemeriksaan diagnostik meliputi :
- Gas
darah arteri (GDA) menunjukkan PaO2 rendah dan PaCO2 tinggi
- Sinar X dada memunjukkan peningkatan
kapasitas paru dan volume cadangan
- Klutur
sputum positif bila ada infeksi
- Esei
imunoglobolin menunjukkan adanya peningkatan IgE serum
- Tes
fungsi paru untuk mengetahui penyebab dispneu dan menentukan apakah
fungsi abnormal paru ( obstruksi atau restriksi).
- Tes
hemoglobolin.
- EKG
( peninggian gelombang P pada lead II, III, AVF dan aksis vertikal.
- Kaji
persepsi diri pasien
- Kaji berat badan dan masukan
rata-rata cairan dan diet.
Diagnosa Keperawatan :
- Tak efektif bersihan jalan nafas
berhubungan dengan peningkatan produksi sekret atau sekresi kental.
- Perubahan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual muntah, produksi sputum, dispneu
Intervensi :
Diagnosa I :
Tidak efektif bersihan jalan nafas berhubungan dengan peningkatan produksi sekret, sekret kental.
Tujuan :
Mempertahakan jalan nafas paten dengan bunyi nafas bersih/jelas.
Kriteria hasil :
Menujukkan perilaku untuk memperbaiki bersihan jalan nafas( batuk yang efektif, dan mengeluarkan secret.
Rencana Tindakan :
- Kaji
/pantau frekuensi pernafasan.Catat rasio inspirasi dan ekspirasi
R/ Tachipneu biasanya ada pada beberapa derajat dapat ditemukan pada penerimaan atau selam stress/ proses infeksi akut. Pernafasan melambat dan frekuensi ekspirasi memanjang disbanding inspirasi
- Auskultasi
bunyi nafas dan catat adanya bunyi nafas
R/ Derajat spasme bronkus terjadi dengan obstruksi jalan nafas dan dapat /tak dimanisfestasikan adanya bunyi nafas.
- Kaji
pasien untuk posisi yang nyaman,Tinggi kepala tempat tidur dan duduk pada
sandaran tempat tidur
R/ Peninggian kepala tempat tidur mempermudah fungsi pernafasan dengan mempergunakan gravitasi. Dan mempermudah untuk bernafas serta membantu menurunkan kelemahan otot-otot dan dapat sebagai alat ekspansi dada.
- Bantu
latihan nafas abdomen atau bibir
R/ Untuk mengatasi dan mengontrol dispneu dan menurunkan jebakan udara
- Observasi
karakteriktik batuk dan Bantu tindakan untuk efektifan upaya batuk
R/ Mengetahui keefktifan batuk
- Tingkatan
masukan cairan samapi 3000ml/hari sesuai toleransi jantung serta berikan
hangat dan masukan cairan antara sebagai penganti makan
R/ Hidrasi membantu menurunkan kekentalan secret,mempermudah pengeluaran.cairan hangat dapat menurunkan spasme bronkus.Cairan antara makan dapat meningkatkan distensi gaster dan tekana diafragma.
- Berikan
obat sesuai indikasi
R/ Mempercepat proses penyembuhan.
Diagnosa Keperawatan II :
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual muntah,produksi sputum, dispneu.
Tujuan :
Peningkatan dalam status nutrisi dan berta badan pasien
Kriteria hasil :
Pasien tidak mengalami kehilangan berat badan lebih lanjut atau mempertahankan berat badan.
Rencana tindakan :
- Pantau
masukan dan keluaran tiap 8 jam, jumlah makanan yang dikonsumsi serta
timbang berta badan tiap minggu.
R/ Untuk mengidentifikasi adanya kemajuan atau penyimpangan dari yang diharapkan.
- Ciptakan
suasana yang menyenangkan ,lingkungan yang bebas dari bau selama waktu
makan
R/ suasana dan lingkungan yang tak sedap selama waktu makan dapat meyebakan anoreksia.
- Rujuk
pasien ke ahli diet untuk memantau merencanakan makanan yang akan
dikonsumsi
R/ Dapat membantu pasien dalam merencanakan makan dengan gisi yang sesuai.
- Dorong klien untuk minum minimal 3
liter cairan perhari, jika tidak mendapat infus.
R/ untuk mengatasi dehidrasi pada pasien.
II.2. Epidemiologi
Di negeri-negeri barat, kekerapan bronkiektasis diperkirakan sebanyak 1,3 % di antara populasi. Kekerapan setinggi itu ternyata mengalami penurunan yang berarti sesudah dapat ditekannya frekuensi kasus-kasus infeksi paru dengan pengobatan memakai antibiotik.
Di Indonesia belum ada laporan tentang angka-angka yang pasti mengenai penyakit ini. Kenyataannya penyakit ini cukup sering ditemukan di klinik-klinik dan diderita oleh laki-laki maupun wanita. Penyakit ini dapat diderita mulai sejak anak-anak, bahkan dapat merupakan kelainan kongenital1.
a. Kelainan kongenital
Dalam hal ini bronkiektasis terjadi sejak individu masih dalam kandungan. Faktor genetik atau faktor pertumbuhan dan perkembangan fetus memegang peran penting. Bronkiektasis yang timbul kongenital ini mempunyai ciri sebagai berikut, pertama, bronkiektasis mengenai hampir seluruh cabang bronkus pada satu atau kedua paru. Kedua, bronkiektasis kongenital sering menyertai penyakit-penyakit kongenital lainnya, misalnya: mukoviskidosis (cystic pulmonary fibrosis), sindrom kartagener (bronkiektasis kongenital, sinusitis paranasal dan situs inversus), hipo atau agamaglobulinemia, bronkiektasis pada anak kembar satu telur (anak yang satu dengan bronkiektasis, ternyata saudara kembarnya juga menderita bronkiektasis), bronkiektasis sering bersamaan dengan kelainan kongenital berikut: tidak adanya tulang rawan bronkus, penyakit jantung bawaan, kifoskoliosis kongenital.
b. Bronkiektasis didapat
Bronkiektasis sering merupakan kelainan didapat dan kebanyakan merupakan akibat proses berikut:
* Infeksi
Bronkiektasis sering terjadi sesudah seseorang anak menderita pneumonia yang sering kambuh dan berlangsung lama. Pneumonia ini umumnya merupakan komplikasi pertusis maupun influenza yang diderita semasa anak, tuberkulosis paru, dan sebagainya.
* Obstruksi bronkus
Obstruksi bronkus yang dimaksudkan disini dapat disebabkan oleh berbagai macam sebab: korpus alineum, karsinoma bronkus atau tekanan dari luar lainnya terhadap bronkus.
Menurut penelitian para ahli diketahui bahwa adanya infeksi ataupun obstruksi bronkus tidak selalu secara nyata menimbulkan bronkiektasis. Oleh karenanya diduga mungkin masih ada faktor intrinsik ikut berperan terhadap timbulnya bronkiektasis1,2.
II.4. PATOLOGI
Terdapat berbagai variasi bronkiektasis, baik mengenai jumlah atau luasnya bronkus yang terkena maupun beratnya penyakit.
1. Tempat predisposisi bronkiektasis
Dapat mengenai bronkus pada satu segmen paru, bahkan dapat secara difus mengenai kedua paru. Bagian paru yang sering terkena dan merupakan tempat predisposisi bronkiektasis adalah lobus tengah paru kanan, bagian lingual paru kiri lobus atas, segmen basal pada lobus bawah kedua paru.
2. Bronkus yang terkena
Umumnya adalah bronkus ukuran sedang, sedangkan bronkus yang besar jarang terkena. Bronkus yang terkena dapat hanya pada satu segmen paru saja maupun difus.
3. Perubahan morfologi bronkus yang terkena.
a. Dinding bronkus
Dapat mengalami perubahan berupa proses inflamasi yang sifatnya destruktif dan ireversibel. Pada pemeriksaan patologi anatomi sering ditemukan berbagai tingkatan keaktifan proses inflamasi serta terdapat proses fibrosis. Jaringan bronkus yang mengalami kerusakan selain otot-otot polos bronkus juga elemen-elemen elastis.
b. Mukosa bronkus
Permukaannya menjadi abnormal, silia pada sel epitel menghilang, terjadi perubahan metaplasia skuamosa dan terjadi sebukan hebat sel-sel inflamasi. Apabila terjadi eksaserbasi infeksi akut, pada mukosa akan terjadi pengelupasan, ulserasi dan pernanahan.
c. Jaringan paru peribronkial.
Dapat ditemukan kelainan antara lain berupa pneumonia, fibrosis paru atau pleuritis apabila prosesnya dekat pleura. Pada keadaan yang berat, jaringan paru distal bronkiektasis akan diganti oleh jaringan fibrotik dengan kista-kista berisi nanah.
4. Variasi kelainan anatomis bronkiektasis.
Telah dikenal ada 3 variasi bentuk kelainan anatomis bronkiektasis, yaitu:
a. Bentuk tabung (Tubular, Cilindrical, Fusiform bronchiectasis)
Merupakan bronkiektasis yang paling ingan. Bentuk ini sering ditemukan pada bronkiektasis yang menyertai bronkitis kronis.
b. Bentuk kantong (Saccular bronchiectasis)
Merupakan bentuk bronkiektasis yang klasik, ditandai dengan adanya dilatasi dan penyempitan bronkus yang bersifat ireguler, Bentuk ini kadang-kadang berbentuk kista (Cystic bronkiektasis).
c. Varicose bronchiectasis
Merupakan bentuk antara bentuk tabung dan kantong. Istilah ini digunakan karena perubahan bentuk bronkus menyerupai varises pembuluh vena2.
Adanya variasi bentuk-bentuk anatomis bronkus tadi secara klinis tidak begitu penting, karena kelainan-kelainan yang berbeda tadi dapat berasal dari etiologi yang sama dan tidak mempengaruhi gejala klinis dan manajemen pengobatannya sama saja. Bahkan beberapa bentuk kelainan tadi bisa terdapat pada satu pasien.
5. Pseudobronkiektasis
Ini bukan termasuk bronkiektasis yang sebenarnya. Pada bentuk ini terdapat pelebaran bronkus yang bersifat sementara dan bentuknya silindris. Kelainan ini bersifat sementara karena dalam beberapa bulan akan menghilang. Bentuk ini biasanya merupakan komplikasi pneumonia.
II.5. PATOGENESIS :
Tergantung penyebabnya. Apabila bronkiektasis timbul kongenital, patogenesisnya tidak diketahui, diduga erat hubungannya dengan genetik serta faktor pertumbuhan dan perkembangan fetus dalam kandungan. Pada bronkiektasis yang didapat, patogenesisnya diduga melalui beberapa mekanisme. Ada beberapa faktor yang diduga ikut berperan, antara lain:
(1) obstruksi bronkus, (2) infeksi pada
bronkus atau paru, (3) adanya beberapa penyakit tertentu seperti fibrosis paru,
asthmatic pulmonary eosinophilia dan (4) faktor intrinsik dalam bronkus atau
paru.
Patogenesis pada kebanyakan bronkiektasis yang didapat, diduga melalui dua mekanisme dasar.
Patogenesis pada kebanyakan bronkiektasis yang didapat, diduga melalui dua mekanisme dasar.
1. Permulaannya didahului adanya infeksi bakterial. Mula-mula karena adanya infeksi pada bronkus atau paru, kemudian timbul bronkiektasis. Mekanisme kejadiannya sangat rumit. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa infeksi pada bronkus atau paru, akan diikuti proses destruksi dinding bronkus daerah infeksi dan kemudian timbul bronkiektasis.
2. Permulaannya didahului adanya obstruksi bronkus. Adanya obstruksi bronkus oleh beberapa penyebab (misalnya tuberkulosis kelenjar limfe pada anak, karsinoma bronkus, korpus alineum dalam bronkus) akan diikuti terbentuknya bronkiektasis. Pada bagian distal obstruksi biasanya akan terjadi infeksi dan destruksi bronkus, kemudian terjadi bronkiektasis.
Pada bronkiektasis didapat, pada keadaan yang amat jarang, dapat terjadi atau timbul sesudah masuknya bahan kimia korosif (biasanya bahan hidrokarbon) ke dalam saluran nafas dan karena terjadinya aspirasi berulang bahan/cairan lambung ke dalam paru1,2.
Seperti diketahui, bronkiektasis merupakan penyakit paru yang mengenai bronkus dan sifatnya kronik. Keluhan-keluhan yang timbul berlangsung kronik dan menetap. Keluhan-keluhan yang timbul berhubungan erat dengan: (1) luas atau banyaknya bronkus yang terkena, (2) tingkatan beratnya penyakit, (3) lokasi bronkus yang terkena dan (4) ada atau tidak adanya komplikasi lanjut. (http://www.emedicine.com/cgi-bin/foxweb.exe/picture=\websites\emedicine\med\images\2463.jpg&template=izoom2)
Pada bronkiektasis, keluhan-keluhan timbul umumnya sebagai akibat adanya beberapa hal berikut: (1) adanya kerusakan dinding bronkus, (2) adanya kerusakan fungsi bronkus dan (3) adanya akibat lanjut bronkiektasis atau komplikasi dan sebagainya. Kerusakan dinding bronkus dapat berupa dilatasi dinding bronkus, kerusakan elemen elastis dan otot-otot polos bronkus, kerusakan mukosa dan silia. Kerusakan tersebut akan menimbulkan stasis sputum, gangguan ekspektorasi, gangguan reflek batuk dan sesak nafas1.
Mengenai infeksi dan hubungannya dengan patogenesis bronkiektasis, dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Infeksi pertama (primer)
Kecuali pada bentuk bronkiektasis kongenital, tiap bronkiektasis kejadiannya didahului infeksi bronkus (bronchitis) maupun jaringan paru (pneumonia). Masih menjadi pertanyaan, apakah infeksi yang mendahului terjadinya bronkiektasis tersebut disebabkan oleh bakteri atau virus. Menurut hasil penelitian para ahli terdahulu ditemukan bahwa infeksi yang mendahului bronkiektasis adalah infeksi bakterial, yaitu mikroorganisme penyebab pneumonia atau bronkitis yang mendahuluinya. Dikatakan bahwa hanya infeksi bakteri saja yang dapat menyebabkan kerusakan pada dinding bronkus sehingga terjadi bronkiektasis, sedangkan infeksi virus tidak dapat. Boleh jadi bahwa pneumonia atau bronkitis yang mendahului bronkiektasis tadi didahului oleh infeksi virus (misalnya adenovirus tipe 21, virus influenza, campak dan sebagainya).
b. Infeksi sekunder
Tiap pasien bronkiektasis tidak selalu disertai infeksi sekunder pada lesi (daerah bronkiektasis). Secara praktis apabila sputum pasien bronkiektasis bersifat mukoid dan putih jernih, menandakan tidak atau belum ada infeksi sekunder. Sebaliknya apabila sputum pasien yang semula berwarna putih jernih kemudian berubah warnanya menjadi kuning atau kehijauan atau berbau busuk berarti telah terjadi infeksi sekunder. Untuk menentukan jenis kumannya bisa dilakukan pemeriksaan mikrobiologis. Sputum berbau busuk menandakan adanya infeksi sekunder oleh kuman anaerob. Contoh kuman anaerob ini: Fusiformis fusiformis, treponema vincenti, anaerobic streptococci dan sebagainya. Kuman-kuman aerob yang sering ditemukan dan menginfeksi bronkiektasis misalnya: Streptokokus pneumonia, hemopilis influenza, klebsiela ozeona dan sebagainya.
PERUBAHAN FAAL PARU :
Kelainan fungsi paru yang terjadi pada pasien bronkiektasis sangat bervariasi dan tingkatan beratnya tergantung pada luasnya kerusakan parenkim paru dan seberapa jauh beratnya komplikasi yang telah terjadi. Akibatnya dapat dijumpai pasien bronkiektasis ringan tanpa kelainan fungsi paru atau hanya kelainan ringan saja, bronkiektasis sedang dengan kelainan fungsi paru derajat sedang dan bronkiektasis berat dengan kelainan fungsi paru berat. Selain itu perlu dinyatakan bahwa kelainan fungsi paru (faal ventilasi) yang terjadi selain jenisnya tidak sama (artinya bisa tipe obstruktif, restriktif atau campuran), jenis kelainannya juga tidak khas tergantung pada macam kerusakan jaringan paru yang terjadi, sehingga pengaruhnya pada fungsi paru dapat berbeda-beda.
II.6. GAMBARAN KLINIS :
Gejala dan tanda klinis yang timbul pada pasien bronkiektasis tergantung pada luas dan beratnya penyakit, lokasi kelainannya dan ada atau tidak adanya komplikasi lanjut. Ciri khas penyakit ini adalah adanya batuk kronik disertai produksi sputum, adanya hemoptisis dan pneumonia berulang. Gejala dan tanda klinis tersebut dapat demikian hebat pada penyakit yang berat, dan dapat tidak nyata atau tanpa gejala pada penyakit yang ringan.
Bronkiektasis yang mengenai bronkus pada lobus atas sering dan memberikan gejala, sebagai berikut :
a. Batuk :
Batuk pada bronkiektasis mempunyai ciri antara lain batuk produktif berlangsung kronik dan frekuensi mirip seperti pada bronkitis kronik, jumlah sputum bervariasi, umumnya jumlahnya banyak terutama pada pagi hari sesudah ada perubahan posisi tidur atau bangun. Kalau tidak ada infeksi sekunder sputumnya mukoid, sedang apabila terjadi infeksi sekunder sputumnya purulen, dapat memberikan bau mulut yang tidak sedap. Apabila terjadi infeksi sekunder oleh kuman anaerob akan menimbulkan sputum sangat berbau busuk. Pada kasus yang ringan, pasien dapat tanpa batuk atau hanya timbul batuk apabila ada infeksi sekunder. Pada kasus yang sudah berat, misalnya pada sacular type brokiektasis, sputum jumlahnya banyak sekali, purulen dan apabila ditampung beberapa lama, tampak terpisah jadi tiga lapisan: 1. Lapisan teratas agak keruh terdiri atas mukus, 2. Lapisan tengah jernih terdiri atas saliva dan 3. Lapisan terbawah keruh terdiri atas nanah dan jaringan nekrosis dari bronkus yang rusak.
b. Hemoptosis :
Hemoptisis atau hemoptoe terjadi kira-kira pada 50% kasus bronkiektasis. Keluhan ini terjadi akibat nekrosis atau destruksi mukosa bronkus mengenai pembuluh darah dan timbul perdarahan. Perdarahan yang terjadi bervariasi mulai yang paling ringan sampai perdarahan yang cukup banyak apabila nekrosis yang mengenai mukosa amat hebat atau terjadi nekrosis yang mengenai cabang arteri bronkialis (darah berasal dari peredaran darah sistemik).
Pada bronkiektasis kering, hemoptisis justru merupakan gejala satu-satunya, karena jenis ini letaknya di lobus atas paru, drainasenya baik, sputum tidak pernah menumpuk dan kurang menimbulkan reflek batuk. Pasien tanpa batuk atau batuknya minimal. Dapat diambil pelajaran, bahwa apabila kita menemukan kasus hemoptisis hebat tanpa adanya gejala-gejala batuk sebelumnya atau tanpa kelainan fisis yang jelas hendaknya diingat dry bronciektasis ini. Hemoptisis pada bronkiektasis walaupun kadang-kadang hebat jarang fatal. Pada tuberkulosis paru, bronkiektasis (sekunder) ini merupakan penyebab utama komplikasi hemoptisis.
c. Sesak nafas (dispnea) :
Pada sebagian besar pasien (50% kasus) ditemukan keluhan sesak nafas. Timbul dan beratnya sesak nafas tergantung pada seberapa luasnya bronkitis kronis yang terjadi serta seberapa jauh timbulnya kolaps paru dan destruksi jaringan paru yang terjadi sebagai akibat infeksi berulang (ISPA), yang bisanya menimbulkan fibrosis paru dan emfisema yang menimbulkan sesak nafas tadi. Kadang-kadang ditemukan wheezing, akibat adanya obstruksi bronkus. Wheezing dapat lokal atau tersebar tergantung pada distribusi kelainannya.
d. Demam berulang :
Bronkiektasis merupakan penyakit yang berjalan kronik, sering mengalami infeksi berulang pada bronkus maupun pada paru, sehingga sering timbul demam.
Kelainan Fisik :
Pada saat pemeriksaan fisis, mungkin pasien sedang mengalami batuk-batuk dengan pengeluaran sputum, sesak nafas demam atau sedang batuk darah. Tanda-tanda fisis umum yang dapat ditemukan meliputi sianosis, jari tabuh, manifestasi klinis komplikasi bronkiektasis. Pada kasus yang berat dan lebih lanjut dapat ditemukan tanda-tanda kor pulmonal kronik maupun payah jantung kanan. Kelainan paru yang timbul tergantung pada beratnya serta tempat kelainan bronkiektasis terjadi dan kelainannya apakah lokal atau difus. Pada pemeriksaan fisis paru, kelainannya harus dicari pada tempat predisposisi. Pada bronkiektasis biasanya ditemukan ronkhi basah yang jelas pada lobus bawah paru yang terkena dan keadaannya menetap dari waktu ke waktu, atau ronkhi basah ini hilang sesudah pasien mengalami drainase postural dan timbul lagi di waktu yang lain. Apabila bagian paru yang diserang amat luas serta kerusakannya hebat, dapat menimbulkan kelainan berikut: terjadi retraksi dinding dada dan berkurangnya gerakan dada daerah yang terkena serta dapat terjadi penggeseran mediastinum ke daerah paru yang terkena. Bila terdapat komplikasi pneumonia akan ditemukan kelainan fisis sesuai dengan pneumonia. Wheezing sering ditemukan apabila terjadi obstruksi bronkus.
Sindrom Kartagener
Sindrom ini terdiri atas gejala-gejala berikut: (1) Bronkiektasis kongenital, sering disertai dengan silia bronkus imotil, (2) Situs invertus atau pembalikan letak organ-organ dalam, dalam hal ini terjadi dekstrokardia, left sided gall bladder, left sided liver, right sided spleen dan sebagainya, dan (3) Sinusitis paranasal atau tidak terdapatnya sinus frontalis. Semua elemen gejala sindrom kartagener ini adalah kelainan kongenital (suatu kebersamaan). Bagaimana asosiasi tentang keberadaannya yang demikian ini belum diketahui dengan jelas.
Bronkolitiasis :
Kelainan ini merupakan kalsifikasi kelenjar limfe yang biasanya merupakan gejala sisa kompleks primer tuberkulosis paru primer. Kelainan ini bukan merupakan tanda klinis bronkiektasis. Kelainan ini sering mengakibatkan erosi bronkus di dekatnya dan dapat masuk ke dalam bronkus menimbulkan sumbatan dan infeksi. Selanjutnya terjadilah bronkiektasis. Erosi dinding bronkus oleh bronkus tadi dapat mengenai pembuluh darah di situ dan dapat merupakan penyebab timbulnya hemoptisis hebat.
Kelainan Laboratorium :
Umumnya tidak khas. Pada keadaan lanjut dan sudah mulai ada insufisiensi paru dapat ditemukan polisitemia sekunder. Bila penyakitnya ringan gambaran darahnya normal. Sering-sering ditemukan anemia, yang menunjukkan adanya infeksi kronik, atau ditemukannya leukositosis yang menunjukkan adanya infeksi supuratif.
Urin umumnya normal, kecuali bila sudah ada komplikasi amiloidosis akan ditemukan proteinuria. Pemeriksaan sputum dengan pengecatan langsung dapat dilakukan untuk menentukan kuman apa yang terdapat dalam sputum. Pemeriksaan kultur sputum dan uji sensitivitas terhadap antibiotik perlu dilakukan, apabila ada kecurigaan adanya infeksi sekunder. Perlu segera dicurigai adanya infeksi sekunder apabila misalnya dijumpai sputum pada hari-hari sebelumnya warnanya putih jernih, yang berubah menjadi warna kuning atau hijau.
Kelainan Radiologis :
Gambaran foto dada (plain film) pasien bronkiektasis posisi berdiri sangat bervariasi, tergantung berat ringannya kelainan serta letak kelainannya. Dengan gambaran foto dada tersebut kadang-kadang dapat ditemukan kelainannya, tetapi kadang-kadang sukar. Gambaran radiologis khas untuk bronkiektasis biasanya menunjukkan kista-kista kecil dengan fluid level, mirip seperti gambraran sarang tawon pada daerah yang terkena. Gambaran seperti ini hanya dapat ditemukan pada 13% kasus. Kadang-kadang gambaran radiologis paru menunjukkan adanya bercak-bercak pneumonia, fibrosis atau kolaps (atelektasis), bahkan kadang-kadang gambaran seperti pada paru normal (7% kasus). Gambaran bronkiektasis akan jelas pada bronkogram.
Kelainan Faal Paru :
Tergantung pada luas dan beratnya penyakit. Fungsi ventilasi dapat masih normal bila kelainannya ringan. Pada penyakit yang lanjut dan difus, kapasitas vital (KV) dan kecepatan aliran udara ekspirasi satu detik pertama (FEV1) terdapat tendensi penurunan, karena terjadinya obstruksi aliran udara pernafasan. Pada bronkiektasis dapat terjadi perubahan gas darah berupa penurunan PaO2 derajat ringan sampai berat, tergantung pada beratnya kelainan. Penurunan PaO2 ini menunjukkan adanya abnormalitas regional (maupun difus) distribusi ventilasi, yang berpengaruh pada perfusi paru.
Tingkatan Beratnya Penyakit
Tingkatan beratnya penyakit bervariasi mulai dari yang ringan sampai berat. Brewis membagi tingkatan beratnya bronkiektasis menjadi derajat ringan, sedang dan berat.
1. Bronkiektasis Ringan
Ciri klinis: batuk-batuk dan sputum warna hijau hanya terjadi sesudah demam (ada infeksi sekunder), produksi sputum terjadi dengan adanya perubahan posisi tubuh, biasanya ada hemoptisis sangat ringan, pasien tampak sehat dan fungsi paru normal. Foto dada normal.
2. Bronkiektasis sedang
Ciri klinis: Batuk-batuk produktif terjadi tiap saat, sputum timbul setiap saat (umumnya warna hijau dan jarang mukoid, serta bau mulut busuk), sering-sering ada hemoptisis, pasien umumnya masih tampak sehat dan fungsi paru normal, jarang terdapat jari tabuh. Pada pemeriksaan fisis paru sering ditemukan ronkhi basah kasar pada daerah paru yang terkena, gambaran foto dada boleh dikatakan masih normal.
3. Bronkiektasis berat
Ciri klinis: Batuk-batuk produktif dengan sputum banyak berwarna kotor dan berbau. Sering ditemukan adanya pneumonia dengan hemoptisis dan nyeri pleura. Sering ditemukan jari tabuh. Bila ada obstruksi saluran nafas akan dapat ditemukan adanya dispnea, sianosis atau tanda kegagalan paru. Umumnya pasien mempunyai keadaan umum kurang baik. Sering ditemukan infeksi piogenik pada kulit, infeksi mata dan sebagainya. Pasien mudah timbul pneumonia, septikemia, abses metastasis, kadang-kadang terjadi amiloidosis. Pada pemeriksaan dapat ditemukan ronkhi basah kasar pada daerah yang terkena. Pada gambaran foto dada ditemukan kelainan: (1) penambahan bronchovascular marking, (2) multiple cysts containing fluid levels (honey comb appearance).
Perjalanan Klinis Penyakit
Sesudah seseorang menderita bronkiektasis, perjalanan klinis penyakit selanjutnya tergantung pada luasnya penyakit, efektivitas drainase sputum dan efektivitas pengobatan infeksi. Kalau penyakitnya luas atau pengobatannya tidak memuaskan, dapat timbul beberapa komplikasi lanjut yang tidak menyenangkan. Apabila penyakit ini berlanjut terus, keadaan umum pasien dapat menjadi sangat menurun. Sebagai akibat daya tahan tubuh yang menurun mudah timbul infeksi berulang, nafsu makan berkurang menimbulkan malnutrisi dan sebagainya. Dalam keadaan yang sangat jarang, pada pasien dapat timbul perubahan degeneratif yaitu terjadi amiloidosis.
II.7. DIAGNOSIS :
Diagnosis pasti bronkiektasis dapat ditegakkan apabila telah ditemukan adanya dilatasi dan nekrosis dinding bronkus dengan prosedur pemeriksaan bronkografi dan melihat bronkogram yang didapatkan. Bronkografi tidak selalu dapat dikerjakan pada tiap pasien bronkiektasis, karena terikat oleh adanya indikasi, kontra indikasi, sarat-sarat kapan melakukannya dan sebagainya. Oleh karena pasien bronkiektasis umumnya memberikan gambaran klinis yang dapat dikenal, penegakan diagnosis bronkiektasis dapat ditempuh melewati proses diagnosis yang lazim dikerjakan di bidang kedokteran, meliputi: (1) anamnesis, (2) Pemeriksaan fisis, (3) Pemeriksaan penunjang, terutama pemeriksaan radiologik1,2.
Tanda-tanda penting :
1. Sputum dan napas berbau.
2. Rhonki (+).
3. Kadang disertai bunyi wheezing.
4. Jari tabuh.
5. Jantung dan trakea tertarik pada daerah yang terkena(IPD Kecil)
.
II.8. DIAGNOSIS BANDING ;
Beberapa penyakit yang perlu diingat atau dipertimbangkan kalau kita berhadapan
dengan bronkiektasis:
1. Bronkitis kronis (ingatlah definisi klinik bronkitis kronik).
2. Tuberkulosis paru (penyakit ini dapat disertai kelainan anatomis paru berupa bronkiektasis).
3. Abses paru (terutama bila telah ada hubungan dengan bronkus besar).
4. Penyakit paru penyebab hemoptisis, misalnya: karsinoma paru, adenoma paru dan sebagainya.
5. Fistula bronkopleural dengan empiema2,3.
II.9. KOMPLIKASI :
Ada beberapa komplikasi bronkiektasis yang dapat dijumpai pada pasien, antara lain:
1. Bronkitis kronik.
2. Pneumonia dengan atau tanpa atelektasis. Bronkiektasis sering mengalami infeksi berulang, biasanya sekunder terhadap infeksi pada saluran nafas bagian atas, hal ini sering terjadi pada mereka yang drainase sputumnya kurang baik.
3. Pleuritis. Komplikasi ini dapat timbul bersama dengan timbulnya pneumonia. Umumnya merupakan pleuritis sicca pada daerah yang terkena.
4. Efusi pleura atau empiema (jarang).
5. Abses metastasis di otak. Mungkin akibat septikemia oleh kuman penyebab infeksi supuratif pada bronkus. Sering menjadi penyebab kematian.
6. Hemoptisis. Terjadi karena pecahnya pembuluh darah cabang vena (arteri pulmonalis), cabang arteri bronkialis atau anastomosis pembuluh darah. Komplikasi hemoptisis hebat dan tidak terkendali merupakan indikasi tindakan bedah gawat darurat. Sering pula hemoptisis masif yang sulit diatasi ini merupakan penyebab kematian utama pasien bronkiektasis.
7. Sinusitis. Keadaan ini sering ditemukan dan merupakan bagian dari komplikasi bronkiektasis pada saluran nafas.
8. Kor-pulmonal kronik (KPK). Komplikasi ini sering terjadi pada pasien bronkiektasis yang berat dan lanjut atau mengenai beberapa bagian paru. Pada kasus ini bila terjadi anastomosis cabang-cabang arteri dan vena pulmonalis pada dinding bronkus (bronkiektasis, akan terjadi arteriovenous shunt, terjadi gangguan oksigenasi darah, timbul sianosis sentral, selanjutnya terjadi hipoksemia.Pada keadaan lanjut akan terjadi hipertensi pulmonal, kor pulmonal kronik. Selanjutnya dapat terjadi gagal jantung kanan.
9. Kegagalan pernafasan. Merupakan komplikasi paling akhir yang timbul pada pasien bronkiektasis yang berat dan luas.
10. Amiloidosis. Keadaan ini merupakan perubahan degeneratif, sebagai komplikasi klasik dan jarang terjadi. Pada pasien yang mengalami komplikasi amiloidosis ini sering ditemukan pembesaran hati dan limpa serta proteinuria.
II.10. PENGOBATAN :
Pengobatan pasien bronkiektasis terdiri atas dua kelompok, yaitu sebagai berikut :
Pengobatan Konservatif :
1. Pengelolaan Umum
Pengelolaan umum ini ditujukan terhadap semua pasien bronkiektasis, meliputi:
a. Menciptakan lingkungan yang baik dan tepat bagi pasien. Contoh: membuat ruangan hangat, udara ruangan kering, mencegah/menghentikan merokok, mencegah atau menghindari debu, asap dan sebagainya.
b. Memperbaiki drainase postural. Tindakan ini merupakan cara yang paling efektif untuk mengurangi gejala, tetapi harus dikerjakan secara terus-menerus. Pasien diletakkan dengan posisi tubuh sedemikian rupa sehingga dapat dicapai drainase sputum secara maksimal. Tiap kali melakukan drainase postural dikerjakan selama 10-20 menit dan tiap hari dikerjakan 2-4 kali. Prinsip drainase postural ini adalah usaha mengeluarkan sputum (sekret bronkus) dengan bantuan gaya gravitasi. Untuk keperluan tersebut, posisi tubuh saat dilakukan drainase postural harus disesuaikan dengan letak kelainan bronkiektasisnya. Tujuan membuat posisi tubuh seperti yang dipilih tadi adalah untuk menggerakkan sputum dengan pertolongan gaya gravitasi agar menuju ke hilus paru bahkan mengalir sampai ke tenggorok sehingga mudah dibatukkan keluar. Drainase postural tiap kali dikerjakan selama 10-20 menit atau sampai sputum tidak keluar lagi. Apabila dengan mengatur posisi tubuh pasien seperti tersebut di atas belum diperoleh drainase sputum secara maksimal dapat dibantu dengan tindakan memberikan ketukan dengan jari pada pumggung pasien (Tabotage).
c. Mencairkan sputum yang kental. Hal ini dapat dilakukan dengan jalan, misalnya: inhalasi uap air panas atau dingin (menurut kesadaran), menggunakan obat-obatan mukolitik dan sebagainya.
d. Mengatur posisi tempat tidur pasien. Posisi tempat tidur pasien sebaiknya diatur sedemikian rupa sehingga posisi tidur pasien dapat memudahkan drainase sekret bronkus. Hal ini dapat dicapai misalnya dengan mengganjal kaki tempat tidur bagian kaki pasien (disesuaikan menurut kebutuhan) sehingga diperoleh posisi pasien yang sesuai untuk memudahkan drainase sputum.
e. Mengontrol infeksi saluran nafas. Adanya infeksi saluran nafas akut (ISPA) harus diperkecil dengan jalan mencegah pemajanan kuman. Apabila telah ada infeksi (ISPA) harus diberantas dengan antibiotik yang sesuai agar infeksi tidak berkelanjutan. Apabila ada sinusitis harus disembuhkan.
2. Pengelolaan Khusus :
a. Kemoterapi pada bronkiektasis
Kemoterapi pada bronkiektasis dapat digunakan: (1) secara kontinyu untuk mengontrol infeksi bronkus (ISPA), (2) Untuk pengobatan eksaserbasi infeksi akut pada bronkus/paru, (3) Atau keduanya. Kemoterapi disini menggunakan obat antibiotik tertentu. Sebaiknya harus berdasarkan hasil uji sensitivitas kuman terhadap antibiotik secara empirik. Walaupun kemoterapi jelas kegunaannya pada pengelolaan bronkiektasis, tidak setiap pasien harus diberikan antibiotik. Antibiotik hanya diberikan kalau diperlukan saja, yaitu apabila terdapat eksaserbasi infeksi akut. Antibiotik diberikan selama 7-10 hari, terapi tunggal atau kombinasi beberapa antibiotik sampai kuman penyebab infeksi terbasmi atau sampai terjadi konversi warna sputum yang semula berwarna kuning/hijau menjadi mukoid (putih jernih). Selanjutnya ada yang memberikan dosis pemeliharaan. Ada yang berpendapat bahwa kemoterapi dengan antibiotik ini apabila berhasil akan dapat mengurangi gejala batuk, jumlah sputum dan gejala lainnya terutama pada saat ada eksaserbasi infeksi akut, tetapi keadaan ini hanya bersifat sementara.
b. Drainase sekret dengan bronkoskop
Cara ini penting dikerjakan terutama pada permulaan perawatan pasien. Keperluannya adalah antara lain untuk: (1) menentukan dari mana asal sekret (sputum), (2) mengidentifikasi lokasi stenosis atau obstruksi bronkus, (3) menghilangkan obstruksi bronkus dengan suction drainage daerah obstruksi tadi (misalnya pada pengobatan atelekasis paru).
3. Pengobatan Simptomatik
Pengobatan ini hanya diberikan kalau timbul simptom yang mungkin mengganggu atau